Karya: Eufresia Amira
Perjalanan menuju Toraja kali ini terasa begitu spesial. Sudah bertahun-tahun aku tidak menginjakkan kaki di tanah leluhur, tanah yang menyimpan begitu banyak kenangan. Sejak kecil, aku sering mendengar cerita tentang keindahan Toraja, dan setiap kali mendengarnya, rasa rindu itu semakin kuat. Kini, kesempatan itu tiba. Aku pulang, bukan hanya untuk mengunjungi, tapi untuk benar-benar merasakan kembali setiap sudut keindahannya.
Ketika mobil mulai mendaki jalan-jalan sempit yang dikelilingi oleh tebing dan lembah, perasaan senang bercampur aduk. Di satu sisi, aku begitu tak sabar untuk tiba di Toraja. Rasanya sudah tidak sabar untuk menghirup udara segar yang konon katanya bisa langsung menyegarkan pikiran. Di sisi lain, ada sedikit kekhawatiran. Akankah semuanya tetap seperti yang ada di dalam ingatanku? Ataukah waktu telah mengubah Toraja menjadi sesuatu yang asing?
Perjalanan yang panjang akhirnya berakhir. Mobil kami berhenti di sebuah rumah yang tidak lain adalah rumah nenek yang letaknya di pinggir bukit. Saat membuka pintu mobil, aku merasakan hembusan udara dingin yang langsung menyentuh kulit. Udara di Toraja memang berbeda—sejuk, segar, dan bebas dari polusi. Tidak ada debu beterbangan seperti yang sering kurasakan di kota. Aku menghirup napas dalam-dalam, merasakan kesejukan yang meresap ke dalam paru-paruku.
Malam pertama di Toraja, aku menikmati dinginnya udara pegunungan yang menyelubungi setiap sudut tempat ini. Suara jangkrik dan gemericik air dari sungai kecil di dekat rumah nenek memberikan irama alami yang menenangkan. Ketika tidur, aku merasakan hawa dingin yang hampir seperti es. Selimut tebal yang disediakan nenek seolah tidak cukup untuk menahan dinginnya udara malam itu. Namun, ada kehangatan yang terselip di tengah-tengah rasa dingin itu. Kehangatan yang datang dari perasaan bahwa aku akhirnya kembali ke tempat yang selalu kurindukan.
Keesokan harinya, aku mulai menjelajahi tempat-tempat wisata yang ada di sekitar Toraja. Salah satu yang paling berkesan adalah kunjungan ke negeri di atas awan. Seperti namanya, tempat itu benar-benar terasa seperti berdiri di atas awan. Dari puncak bukit, aku melihat hamparan awan putih yang menutupi lembah-lembah di bawahnya. Seolah-olah, kami semua sedang berada di atas dunia, mengamati kehidupan dari kejauhan. Pemandangan itu membuatku merenung. Betapa kecilnya manusia dibandingkan dengan alam yang begitu luas dan indah ini.
Setiap hari di Toraja diisi dengan petualangan. Aku mengunjungi desa-desa adat, menyaksikan ritual-ritual budaya yang penuh makna, dan tentu saja menikmati kuliner khas Toraja yang menggugah selera. Setiap sudut Toraja memiliki cerita, dan setiap ceritanya terasa seperti membuka bab baru dari sebuah buku yang telah lama tertutup. Pegunungan yang menjulang, rumah adat Tongkonan yang berdiri gagah, serta pemakaman di tebing batu yang unik, semuanya memperlihatkan betapa kayanya budaya dan tradisi di tanah ini.
Di antara semua pengalaman itu, satu hal yang paling membekas adalah kedamaian yang kurasakan selama berada di sana. Tidak ada hiruk-pikuk kota yang memusingkan, tidak ada suara klakson atau asap kendaraan yang menyesakkan dada. Hanya ada kedamaian, keindahan alam, dan keramahan penduduk lokal yang membuatku merasa seperti benar-benar pulang ke rumah.
Waktu dua minggu terasa begitu singkat. Setiap harinya dipenuhi dengan keindahan yang sulit dilupakan. Namun, seperti semua hal baik dalam hidup, perjalananku di Toraja harus berakhir. Hari terakhir di Toraja, perasaanku campur aduk. Di satu sisi, aku sangat bersyukur bisa menghabiskan waktu di tempat seindah ini. Di sisi lain, aku merasa sedih harus meninggalkan semua ini dan kembali ke rutinitas kota yang padat.
Ketika mobil mulai meninggalkan Toraja, aku menatap ke luar jendela, melihat pegunungan yang perlahan-lahan menghilang dari pandangan. Aku menghela napas panjang, mencoba mengabadikan setiap momen dalam ingatanku. Toraja telah memberikan banyak hal dalam dua minggu ini—kedamaian, kebahagiaan, dan rasa syukur. Aku tahu, suatu hari nanti, aku pasti akan kembali ke sini. Toraja adalah bagian dari diriku, dan tak peduli seberapa jauh aku pergi, Toraja akan selalu menjadi rumah kedua yang menunggu kepulanganku.
Perjalanan pulang terasa jauh lebih berat. Rasa sedih menghantui setiap kilometer yang kulewati. Namun, di balik kesedihan itu, ada harapan bahwa suatu hari nanti, aku akan kembali lagi. Toraja telah menjadi bagian dari diriku, dan aku akan selalu merindukan udara sejuknya, pemandangan indahnya, serta kedamaian yang hanya bisa kutemukan di sana.
Begitu mobil memasuki jalan raya menuju kota asalku Samarinda, aku kembali ke realitas. Kota dengan segala hiruk-pikuknya, rutinitas yang menanti, dan sekolah yang harus diselesaikan. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada ketenangan dalam hatiku. Aku tahu, setiap kali merasa lelah atau rindu akan kedamaian, aku selalu bisa mengingat Toraja—tempat di mana aku menemukan kedamaian sejati.